Pengkafiran Bukan Masalah Sepele
Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya itu akan kembali terarah kepada salah seorang di antara mereka berdua.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka dia [penuduh] tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam al-‘Aini rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘tuduhan itu justru kembali kepadanya’ adalah sebagaimana yang diterangkan oleh al-‘Aini rahimahullah, yaitu, “Apa yang diucapkannya justru terarah kepada dirinya sendiri, karena orang yang dikafirkannya benar imannya (tidak kafir).” Sehingga maknanya adalah kalau tuduhannya itu tidak terbukti kebenarannya maka sesungguhnya dia telah mengkafirkan dirinya sendiri (lihat ‘Umdat al-Qari [22/245])
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql berkata, “Penjatuhan vonis kafir (takfir) adalah perkara yang sudah diatur dalam hukum syari’at dan acuannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ucapan atau perbuatannya selama dalil syari’at tidak menunjukkan atas kekafirannya. Penyebutan hukum kafir -secara umum- atas suatu ucapan atau perbuatan tidak secara otomatis menunjukkan jatuhnya vonis kafir tersebut -secara khusus- kepada orang tertentu kecuali apabila syarat-syarat -pengkafiran- terpenuhi dan penghalang-penghalangnya tidak ada. Takfir merupakan hukum yang sangat berbahaya resikonya, oleh sebab itu wajib meneliti segalanya/tatsabbut dan berhati-hati dalam menjatuhkan vonis kafir kepada seorang muslim.” (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 19)
Berikut ini beberapa catatan penting seputar takfir yang harus diperhatikan:
- Pedoman dan tempat rujukan dalam hal takfir ini adalah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu al-Kitab dan as-Sunnah)
- Orang yang terbukti keislamannya dengan meyakinkan maka keislamannya itu tidak lenyap darinya kecuali dengan bukti yang meyakinkan pula
- Tidak setiap ucapan atau perbuatan -yang disebut oleh dalil sebagai bentuk kekafiran- menjadi kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Sebab kekafiran itu ada dua macam: kufur asghar dan kufur akbar. Maka menerapkan hukum terhadap ucapan atau perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan mengikuti metode ulama Ahlus Sunnah dan aturan-aturan yang telah mereka terangkan
- Tidak boleh menjatuhkan hukum takfir kepada seorang muslim pun kecuali orang yang ditunjukkan dengan jelas dan gamblang mengenai kekafirannya oleh dalil al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga dalam hal ini tidak cukup berlandaskan kepada syubhat/perkara yang masih samar ataupun sekedar zhann/dugaan
- Terkadang disebutkan di dalam al-Kitab ataupun as-Sunnah sesuatu yang dipahami bahwa ucapan, perbuatan, atau keyakinan tertentu sebagai kekafiran. Tidak boleh semata-mata berdasarkan hal itu kemudian langsung menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang kecuali apabila telah ditegakkan hujjah kepadanya: yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat -dalam keadaan dia mengetahui, sengaja, dan atas dasar pilihannya sendiri- dan hilangnya penghalang-penghalang -untuk dikafirkan- yaitu perkara-perkara yang menjadi lawan dari syarat-syarat tersebut (artinya; dia tidak jahil, sadar, dan tidak terpaksa) (lihat Mujmal Masa’il al-Iman al-‘Ilmiyah fi Ushul al-‘Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).
Cara Menasehati Penguasa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya cara anda beramar ma’ruf adalah dengan cara yang ma’ruf, demikian pula cara anda dalam melarang kemungkaran adalah bukan berupa kemungkaran.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 24)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah memerintah kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar kecuali orang yang padanya terdapat tiga ciri ini: lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang, bersikap adil dalam memerintah dan adil dalam melarang, serta mengetahui apa yang diperintahkan dan mengetahui apa yang dilarang.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 52 ta’liq Syaikh Ruslan)
Dari ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih)
Dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama ini adalah nasehat.” Beliau mengucapkannya tiga kali. Maka kami bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla, beriman kepada Kitab-Nya, taat kepada Rasul-Nya, memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin serta nasehat bagi orang-orang biasa (rakyat) diantara mereka.” (HR. Muslim)
Imam Ibnu ash-Sholah rahimahullah berkata, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya, mengingatkan mereka terhadap kebenaran, memberikan peringatan kepada mereka dengan lembut, menjauhi pemberontakan kepada mereka, mendoakan taufik bagi mereka, dan mendorong orang lain (masyarakat) untuk juga bersikap demikian.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 103)
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13)
Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya, memerintahkan mereka untuk menjalankan kebenaran, memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka dengan lemah lembut dan halus, memberitahukan kepada mereka hal-hal yang mereka lalaikan, menyampaikan kepada mereka hak-hak kaum muslimin yang belum tersampaikan kepada mereka, tidak memberontak kepada mereka, dan menyatukan hati umat manusia (rakyat) supaya tetap mematuhi mereka.”(lihat Syarh Muslim lil Imam an-Nawawi [2/117], lihat juga penjelasan serupa oleh Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah dalam Syarh al-Arba’in, hal. 33-34)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya, cukup antara kamu dan dia saja.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 105)
Dari Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, dia berkata: Ada orang yang bertanya kepada Usamah radhiyallahu’anhu, “Mengapa kamu tidak bertemu dengan ‘Utsman untuk berbicara (memberikan nasehat) kepadanya?”. Beliau menjawab, “Apakah menurut kalian aku tidak berbicara kepadanya kecuali harus aku perdengarkan kepada kalian? Demi Allah! Sungguh aku telah berbicara empat mata antara aku dan dia saja. Karena aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu fitnah.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)
Bersabar Menghadapi Kezaliman Penguasa
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah kalian telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menaatiku maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan termasuk dalam ketaatan kepada Allah ialah dengan menaatiku?” Para sahabat menjawab, “Benar, kami mempersaksikannya.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya termasuk bentuk ketaatan kepadaku adalah kalian taat kepada para penguasa kalian.” dalam lafal yang lain berbunyi, “para pemimpin kalian.” Kemudian al-Hafizh berkata, “Di dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada para penguasa -kaum muslimin- selama hal itu bukan perintah untuk bermaksiat sebagaimana sudah diterangkan di depan pada awal-awal Kitab al-Fitan. Hikmah di balik perintah taat kepada mereka adalah demi memelihara kesatuan kalimat [stabilitas masyarakat] karena terjadinya perpecahan akan menimbulkan kerusakan/kekacauan urusan.” (lihat Fath al-Bari [13/131] cet. Dar al-Hadits)
Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan Sunnah/ajaran namun bukan Sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati seperti hati setan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atasmu untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan semangat atau dalam keadaan tidak menyenangkan, bahkan ketika mereka [pemimpin] lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka dia harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya -dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (lihat Syarh Muslim [6/485])
Syaikhul Islam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah berkata, “As-habul hadits [Ahlus Sunnah] berpandangan untuk tetap mengikuti setiap pemimpin muslim dalam mendirikan sholat Jum’at, sholat dua hari raya, ataupun sholat-sholat yang lainnya. Entah dia seorang pemimpin yang baik ataupun yang buruk. Mereka juga memandang kewajiban untuk berjihad melawan orang-orang kafir bersama mereka. Meskipun mereka itu zalim dan suka bermaksiat. Mereka juga memandang semestinya rakyat mendoakan perbaikan keadaan, taufik/hidayah serta kebaikan untuk mereka [penguasa] dan supaya mereka bisa meratakan keadilan di tengah rakyat. Mereka juga memandang tidak bolehnya memberontak dengan pedang kepada mereka [penguasa]…” (lihat ‘Aqidah Salaf As-habul Hadits, hal. 100 tahqiq Abul Yamin al-Manshuri cet. Dar al-Minhaj)
Di masa seorang pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman [atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 275)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (dinukil dari Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan)
Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)
Hasan al-Bashri mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 279)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan rasul-Nya memang membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya adalah mengingkari penguasa dan pemimpin dengan cara melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq Syaikh Ruslan dalam al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)
Pemberontakan tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)